حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا سُرَيْجُ بْنُ النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ عَنْ أَبِى طُوَالَةَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَعْمَرٍ الأَنْصَارِىِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Dari Abu Hurairoh, dia berkata, telah bersabda nabi SAW: “Barangsiapa menuntut ilmu yang seharusnya diharapkan dengannya ‘wajah’ Allah ‘azza wa jalla, tetapi ia tidak menuntutnya hanya untuk mendapatkan sedikit dari kenikmatan dunia maka ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud : 3666
Menuntut ilmu hukumnya wajib, waktunya hingga mati datang menjelang, setiap ilmu yang dipelajari maka seharusnya ‘mengarahkannya’ untuk menuju keridhoanNya, semakin memacu setiap yang belajar untuk ‘pandai’ membedakan yang HAK dan yang BATHIL, sehingga ilmu yang didapat bukan hanya menghilangkan kebodohan, tetapi juga semakin menjadikannya sebagai ‘Ibadurrachman’.
Ilmu
apapun yang sekarang sedang ‘digeluti’, seyogyanya akan membentuk
karakter Robbani, mereka akan menjadikan hadits ini sebagai pengingat
setiap saat, bahwa tujuan menuntut ilmu adalah untuk menggapai
kebahagiaan di akhirat, bila tujuan akhirat diutamakan maka kebahagiaan
dunia PASTI akan ia dapatkan secara otomatis, tetapi bila sebaliknya
maka aroma syurga tak akan pernah tercium olehnya apalagi merasakan
nikmatnya.
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun”. (QS. Fathir : 28)
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun”. (QS. Fathir : 28)
Ayat
ini jelas menunjukan bahwa bila memiliki ilmu maka akan semakin ‘takut’
berbuat salah kepada Allah, karena ketakutan akan sangat tergantung
dengan kadar pengetahuannya terhadap yang ditakuti, dan mereka yang
memiliki ilmu maka akan mengenal Allah dan menimbulkan rasa takut
bersalah dan juga pengharapan terhadapNya, ayat ini juga menjadi dalil
bahwa orang yang berilmu lebih tinggi derajatnya dari ahli ibadah.
Pepatah arab : “LAW ‘ALIMA LA’AMILA” (seandainya dia mengetahui maka niscaya dia berbuat), ilmu akan menghantarkan seseorang dekat dengan Allah, bukan justeru menjauhkan, apalagi ‘memanfaatkan’ ilmu hanya untuk kesenangan dunia yang sementara dan berharap pengakuan dari manusia. Pengakuan yang tertinggi adalah dariNya, manakala semakin dekat kepadaNya dan tak ‘tergerus’ oleh nafsu dunia.
Wallahu A’lam Bisshowab.
Pepatah arab : “LAW ‘ALIMA LA’AMILA” (seandainya dia mengetahui maka niscaya dia berbuat), ilmu akan menghantarkan seseorang dekat dengan Allah, bukan justeru menjauhkan, apalagi ‘memanfaatkan’ ilmu hanya untuk kesenangan dunia yang sementara dan berharap pengakuan dari manusia. Pengakuan yang tertinggi adalah dariNya, manakala semakin dekat kepadaNya dan tak ‘tergerus’ oleh nafsu dunia.
Wallahu A’lam Bisshowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar